Sunday, June 25, 2017

Khotbah Iedul Fitri Oleh Prof Quraish Shihab



khotbah salat Id yang dibawakan Prof. Quraish Shihab pagi ini di Istiqlal.
Allah Akbar, Allah Akbar, Wa Lillahil Hamd.

Dengan takbir dan tahmid, kita melepas bulan puasa yang insya Allah telah menempa hati, mengasuh jiwa serta mengasah budi kita. Dengan takbir dan tahmid, kita melepas bulan suci dengan hati yang harus penuh harap, dengan jiwa berpengaruh penuh optimisme, betapa pun beratnya tantangan dan sulitnya situasi. Ini lantaran kita menyadari bahwa Allah Maha Besar. Allahu Akbar! Allahu Akbar!

Semua kecil dan ringan selama kita bersama dengan Allah. Kita bersama sebagai umat Islam dan sebagai bangsa, kendati mazhab, agama atau pandangan politik kita berbeda. Karena kita semua ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita semua satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air dan kita semua telah setuju ber-Bhineka Tunggal Ika, dan menyadari bahwa Islam, bahkan agama-agama lainnya, tidak melarang kita berkelompok dan berbeda. Yang dilarang-Nya ialah berkelompok dan berselisih.

Maksudnya: "Janganlah menjadi serupa dengan orang-orang yang berkelompok-kelompok dan berselisih dalam tujuan, sesudah tiba kepada mereka keterangan-keterangan. Mereka itulah yang mendapat siksa yang pedih." Demikian Allah berfirman dalam Q.S. Ali ‘Imran ayat 105.

Saudara, keragaman dan perbedaan ialah keniscayaan yang dikehendaki Allah untuk seluruh makhluk, termasuk manusia.

Seandainya Allah menghendaki pasti kau dijadikannya satu umat saja, tetapi (tidak demikian kehendak-Nya). Itu untuk menguji kau menyangkut apa yang dianugerahkan-Nya kepada kamu. Karena itu berlomba-lombalah dalam kebajikan (Q.S. Al-Maidah ayat 48).

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Wa Lillahil Hamd!

Saudara, sekarang kita beridul fitri. Kata fithri atau fithrah berarti “asal kejadian”, “bawaan semenjak lahir”. Ia ialah naluri. Fitri juga berarti “suci”, lantaran kita dilahirkan dalam keadaan suci bebas dari dosa. Fithrah juga berarti “agama” lantaran keberagamaan mengantar insan mempertahankan kesuciannya. Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (Islam) dalam keadaan lurus.

Fitrah Allah yang telah membuat insan atasnya. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan insan tidak mengetahui. (Q.S. Ar-Rum ayat 30).

Dengan beridul fitri, kita harus sadar bahwa asal peristiwa kita ialah tanah: Allah Yang membuat sebaik-baiknya segala sesuatu yang Dia ciptakan dan Dia telah memulai penciptaan insan dari tanah. (Q.S. AsSajadah ayat 7)

Kita semua lahir, hidup dan akan kembali dikebumikan ke tanah. Dari bumi Kami membuat kau dan kepadanya Kami akan mengembalikan kau untuk dikuburkan dan darinya Kami akan membangkitkan kau pada kali yang lain. (Q.S. Thaha ayat 55).

Kesadaran bahwa asal peristiwa insan dari tanah, harus bisa mengantar insan memahami jati dirinya. Tanah berbeda dengan api yang merupakan asal peristiwa iblis. Sifat tanah stabil, tidak bergejolak menyerupai api. Tanah menumbuhkan, tidak membakar. Tanah diharapkan oleh manusia, hewan dan flora -- tapi api tidak diharapkan oleh binatang, tidak juga oleh tumbuhan. Jika demikian, insan mestinya stabil dan konsisten, tidak bergejolak, serta selalu memberi manfaat dan menjadi andalan yang diharapkan oleh selainnya.

Bumi di mana tanah berada, beredar dan stabil. Allah menancapkan gunung-gunung di perut bumi semoga penghuni bumi tidak oleng – begitu firman-Nya dalam Q.S. An-Nahl ayat 15. Peredaran bumi pun mengelilingi matahari sedemikian konsisten! Kehidupan insan di dunia ini pun terus beredar, berputar, sekali naik dan sekali turun, sekali bahagia di kali lain susah.

Saudara, kalau tidak tertancap dalam hati insan pasak yang berfungsi menyerupai fungsinya gunung pada bumi, maka hidup insan akan oleng, kacau berantakan. Pasak yang harus ditancapkan ke lubuk hati itu ialah keyakinan wacana Ketuhanan Yang Maha Esa. Itulah salah satu alasannya ialah mengapa idul fitri disambut dengan takbir.

Kesadaran akan kehadiran dan keesaan Tuhan ialah inti keberagamaan. Itulah fithrah atau fitri insan yang atas dasarnya Allah membuat insan (Q.S. Ar-Rum ayat 30).

Selanjutnya lantaran insan diciptakan Allah dari tanah, maka tidak heran kalau nasionalisme, patriotisme, cinta tanah air, merupakan fithrah yakni naluri manusia. Tanah air ialah ibu pertiwi yang sangat menyayangi kita sehingga mempersembahkan segala buat kita, kita pun secara naluriah mencintainya. Itulah fithrah, naluri manusiawi. Karena itulah, hubbu al-wathan minal iman, cinta tanah air ialah manfestasi dan dampak keimanan. Tidak heran kalau Allah menyandingkan kepercayaan dengan tanah air (Q.S Al-Hasyr ayat 9).

Sebagaimana menyejajarkan agama dengan tanah air, Allah berfirman: Allah tidak melarang kau berlaku adil (memberi sebagian hartamu) kepada siapapun - walau bukan muslim-- selama mereka tidak memerangi kau dalam agama atau mengusir kau dari negeri kau (Q.S. Al-Mumtahanah ayat 8). Demikian pembelaan agama dan pembelaan tanah air yang disejajarkan oleh Allah.

Saudara, (siapa) yang menyayangi sesuatu akan memeliharanya, menampakkan dan mendendangkan keindahannya serta menyempurnakan kekurangannya bahkan bersedia berkorban untuknya. Tanah air kita, yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, harus dibangun dan dimakmurkan serta dipelihara persatuan dan kesatuannya. Persatuan dan kesatuan ialah anugerah Allah yang tidak ternilai.

“Seandainya engkau, siapapun engkau, menafkahkan segala apa yang di bumi untuk mempertautkan hati anggota masyarakat, engkau tidak akan mampu, tetapi Allah yang mempertautkan hati mereka,” begitu Firman-Nya dalam Q.S. al-Anfal ayat 63.

Sebaliknya, perpecahan dan tercabik-cabiknya masyarakat ialah bentuk siksa Allah. Itulah antara lain yang diuraikan Al-Quran menyangkut masyarakat Saba’, negeri yang tadinya dilukiskan Al-Quran sebagai baldatun thayyibatum wa rabbun ghafur, negeri sejahtera yang dinaungi ampunan Illahi tapi mereka durhaka dengan menganiaya diri mereka, menganiaya negeri mereka.

Maka Kami jadikan mereka buah bibir dan kami cabik-cabik mereka sepenuh pencabik-cabikan. (Q.S. Saba’ ayat 18).

Saudara, yang dikemukan ayat-ayat di atas ialah sunatullah. Itu ialah aturan kemasyarakatan yang kepastiannya tidak berbeda dengan kepastian “hukum-hukum alam”. Allah berfirman: “Sekali-kali engkau -– siapapun, kapan dan di mana pun engkau -- tidak akan mendapat bagi sunnatullah satu perubahan pun dan sekali-kali engkau tidak akan mendapat bagi sunnatullah Allah sedikit penyimpangan pun.

Itulah yang terjadi di Uni Soviet dan Yugoslavia dan yang prosesnya bisa jadi yang kita saksikan cukup umur ini di sekian negara di Timur Tengah.

Allahu Akbar, Allah Akbar, Wa Lillahil Hamd.

Saudara-saudara sekalian, Allah berpesan bahwa bila hari raya fithrah tiba, maka hendaklah kita bertakbir. ْKalimat takbir merupakan satu prinsip lengkap menembus semua dimensi yang mengatur seluruh khazanah mendasar keimanan dan acara manusia. Dia ialah sentra yang beredar, di sekelilingnya sejumlah orbit unisentris serupa dengan matahari, yang beredar di sekelilingnya planet-planet tata surya. Di sekeliling tauhid itu beredar kesatuan-kesatuan yang tidak boleh berpisah atau memisahkan diri dari tauhid, sebagaimana halnya planet-planet tata surya -- lantaran bila berpisah akan terjadi tragedi kehancuran.

Kesatuan-kesatuan tersebut antara lain. Pertama, kesatuan seluruh makhluk lantaran semua makhluk kendati berbeda-beda namun semua diciptakan dan di bawah kendali Allah. Itulah “wahdat al-wujud/Kesatuan wujud” – dalam pengertiannya yang sahih.

Kedua, kesatuan kemanusiaan. Semua insan berasal dari tanah, semenjak Adam, sehingga semua sama kemanusiaannya. Semua harus dihormati kemanusiaannya, baik masih hidup maupun telah wafat, walau mereka durhaka. Karena itu: Siapa yang membunuh seseorang tanpa alasan yang benar, maka dia bagaikan membunuh semua insan dan siapa yang memberi kesempatan hidup bagi seseorang maka dia bagaikan telah menghidupkan semua manusia.“ [Q.S. al-Maidah ayat 32]

Memang kalau ada yang insan yang mengembangkan teror, mencegah tegaknya keadilan, menempuh jalan yang bukan jalan kedamaian, maka kemanusiaan harus mencegahnya. Hal ini dikarenakan, berdasarkan Q.S. Al-Hajj ayat 40: Seandainya Allah tidak mengizinkan insan mencegah yang lain melaksanakan penganiayaan pasti akan diruntuhkan biara-biara, gereja-gereja, sinagog-sinagog, dan masjid-masjid, yang merupakan tempat-tempat yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Tetapi Allah tidak menghendaki roboh-robohnya tempat-tempat peribadatan itu. Karena itu pula kemanusiaan harus bersifat adil dan beradab.

Ketiga, di sentra tauhid beredar juga kesatuan bangsa. Kendati mereka berbeda agama, dan suku, berbeda kepercayaan atau pandangan politik, mereka semua bersaudara, dan berkedudukan sama dari kebangsaan. Karena itu semenjak zaman Nabi Muhammad SAW., dia telah memperkenalkan istilah “Lahum Ma Lanaa Wa ‘Alaihim Maa ‘Alaina”. Mereka yang tidak seagama dengan kita mempunyai hak kewargaan sebagaimana hak kita kaum muslimin dan mereka juga mempunyai kewajiban kewargaan sebagaimana kewajiban kita.

Dan lantaran itu pula, pemimpin tertinggi Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad At-Thayyib, berkata: “Dalam tinjauan kebangsaan dan kewargaannegaraan, tidak masuk akal ada istilah dominan dan minoritas lantaran semua telah sama dalam kewargaan negara dan lebur dalam kebangsaan yang sama."

Kesadaran wacana kesatuan dan persatuan itulah yang mengharuskan kita duduk bersama bermusyawarah demi kemaslahatan dan itulah makna “kerakyatan yang dipimpin oleh nasihat kebijaksanaan dalam permusyawatan perwakilan”. ْ

Saudara, kesadaran wacana kesamaan dan kebersamaan itu merupakan salah satu alasannya ialah mengapa dalam rangkaian idul fithri, setiap muslim berkewajiban menunaikan zakat fitrah yang merupakan simbol kepedulian sosial serta upaya kecil dalam mengembangkan keadilan sosial. Selain kesatuan-kesatuan di atas, masih banyak yang lain, seperti: kesatuan suami isteri, yakni kendati mereka berbeda jenis kelamin namun mereka harus menyatu. Tidak ada lagi yang berkata “saya” tetapi “kita”, lantaran mereka sama-sama hidup, sama-sama cinta serta sama-sama menuju tujuan yang sama.

Akhirnya, walau bukan yang terakhir, perlu juga disebut kesatuan jati diri insan yang terdiri dari ruh dan jasad. Penyatuan jiwa dan raga, mengantar “binatang cerdas yang menyusui” ini menjadi insan utuh sehingga tidak terjadi pemisahan antara keimanan dan pengamalan, tidak juga antara perasaan dan perilaku, perbuatan dengan moral, idealitas dengan realitas. Akan tetapi, masing-masing merupakan cuilan yang saling melengkapi. Jasad tidak mengalahkan ruh dan ruh pun tidak merintangi kebutuhan jasad.

Kecenderungan individu memperkukuh keutuhan kolektif dan kesatuan kolektif mendukung kepentingan individu. Pandangan tidak hanya terpaku di bumi dan tidak juga hanya mengawang-awang di angkasa. Demikian itulah insan yang ber-‘idul fithri, yang kembali ke asal kejadiannya.

Anda menemukan dia teguh dalam keyakinan. Teguh tetapi bijaksana, senantiasa higienis walau miskin, ekonomis dan sederhana walau kaya, murah hati dan murah tangan, tidak menghina dan tidak mengejek, tidak menyebar fitnah tidak menuntut yang bukan haknya dan tidak menahan hak orang lain.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Wa lillahil Hamd.

Saudara, kitab suci Al-Qur’an menguraikan bahwa sebelum insan ditugaskan ke bumi, Allah memerintahkannya transit terlebih dahulu di surga. Itu dimaksudkan semoga Adam dan ibu kita Hawa memperoleh pelajaran berharga di sana. Di surga, hidup bersifat sejahtera. Di sana, berdasarkan Al-Qur’an Surah Thaha ayat 118-119, "tersedia sandang, papan dan pangan yang merupakan tiga kebutuhan pokok manusia. Di sana juga tidak terdengar, jangankan ujaran kebencian, ucapan yang tidak bermanfaat pun tidak ada wujudnya. Yang ada hanya damai… hening dan damai.

Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula yang menyebabkan dosa, akan tetapi ucapan salam lagi sejahtera. (Q.S. Al-Waqiaah ayat 25-26).

Situasi demikian, dialami oleh insan modern pertama itu, bukan saja semoga kalau mereka tiba di pentas bumi mereka rindu kepada nirwana sehingga berusaha kembali ke sana, tetapi juga semoga berusaha mewujudkan bayang-bayang nirwana itu dalam kehidupan di bumi ini, yakni hidup sejahtera, terpenuhi kebutuhan pokok setiap individu, dalam suasana damai, bebas dari rasa takut yang mencekam, bebas juga dari kesedihan yang berlarut. ْ

Saudara! Di nirwana juga keduanya menghadapi muslihat iblis dan mengalami kepahitan akhir memperturutkannya. Sementara pakar berkata bahwa kata “iblis” terambil dari bahasa Yunani Kuno yakni Diabolos, yang berarti "sosok yang memfitnah, yang memecah belah". Iblis memfitnah Tuhan dengan berkata bahwa Allah tidak melarang Adam dan pasangannya merasakan buah terlarang, kecuali lantaran Allah enggan keduanya menjadi malaikat atau hidup kekal (Q.S. Al-’Araf ayat 20). Iblis memfitnah, memecah belah, dan menanamkan prasangka buruk.

Dengan beridul fitri, kita hendaknya sadar wacana peranan Iblis dan pengikut-pengikutnya dalam menyebar luaskan fitnah dan hoax serta menanamkan prilaku jelek serta untuk memecah belah persatuan dan kesatuan.

Saudara, Al-Qur’an melukiskan bahwa mempercayai ujaran Iblis, menjadikan tanggalnya pakaian Adam dan Hawa. (Q.S. Al-araf ayat 27). Pakaian ialah hiasan, pakaian juga menandai identitas dan melindungi insan dari sengatan panas dan masbodoh sambil menutupi cuilan yang enggan diperlihatkan. Selama bulan puasa ini, kita menenun pakaian takwa dengan nilai-nilai luhur.

Nilai yang telah disepakati oleh bangsa kita ialah nilai-nilai yang bersumber dari agama dan budaya bangsa yang tersimpul dalam Pancasila. Itulah pakaian kita sebagai bangsa. Itulah yang membedakan kita dari bangsa-bangsa lain. Itulah hiasan kita dan itu pula yang dengan menghayatinya kita sanggup terlindungi -- atas proteksi Allah -- dari aneka sengatan panas dan dingin, dari aneka ancaman yang mengganggu eksistensi kita sebagai bangsa.

Allah berpesan: Jangan menjadi menyerupai seorang wanita gila dalam kisah usang yang merombak kembali tenunannya sehelai benang demi sehelai sesudah ditenunkannya (Q.S. An Nahl ayat 92).

Saudara-saudara, para ‘Â’idîn dan ‘Â’idât, yakinlah bahwa kita mempunyai nilai-nilai luhur yang sanggup mengantarkan kita ke harapan proklamasi. Tetapi agaknya kita kurang bisa merekat nilai-nilai itu dalam diri dan kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai inilah yang membentuk kepribadian anggota masyarakat; semakin matang dan cukup umur masyarakat, semakin mantap pula pengejawantahan nilai-nilai tersebut. Masyarakat yang sakit ialah yang mengabaikan nilai-nilai tersebut.

Ada orang atau masyarakat yang sakit tapi tidak menyadari bahwa dia sakit. Sayyidina Ali pernah berucap melukiskan keadaan seseorang atau masyarakat: “Penyakitmu disebabkan oleh ulahmu tapi engkau tidak lihat obatnya ada di tanganmu tapi engkau tak sadar.”

Keadaan yang lebih parah ialah tahu dirinya sakit, obat pun telah dimilikinya, tapi obatnya dia buang jauh-jauh. Semoga bukan kita yang demikian.

Akhirnya, mari kita jadikan ‘idul fithri, sebagai momentum untuk membina dan memperkukuh ikatan kesatuan dan persatuan kita, menyatupadukan relasi kasih sayang antara kita semua, sebangsa dan setanah air.

Marilah dengan hati terbuka, dengan dada yang lapang, dan dengan muka yang jernih, serta dengan tangan terulurkan, kita saling memaafkan, sambil mengibarkan bendera as-Salâm, bendera kedamaian di tanah air tercinta, bahkan di seluruh penjuru dunia.

“Ya Allah, Engkaulah as-Salâm (kedamaian), dari-Mu bersumber as-Salâm, dan kepada-Mu pula kembalinya. Hidupkanlah kami, Ya Allah, di dunia ini dengan as-Salâm, dengan kondusif dan damai, dan masukkanlah kami kelak di negeri as-Salâm (surga) yang penuh kedamaian. Maha Suci Engkau, Maha Mulia Engkau, Yâ Dzal Jalâli wal Ikrâm.

DETAIL

Sumber https://biologigonz.blogspot.com


EmoticonEmoticon